Masalah muncul ketika di buku paket mereka ada bentuk soal "menerjemahkan". Saat menerjemahkan frasa seperti "my book" atau "his car", saya menyarankan alternatif jawaban yang lebih luwes yaitu: "bukuku" dan "mobilnya". Murid saya malah kebingungan.
"Kok bukan buku aku? Kok bukan mobil dia?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi setengah gemas.
Saya yang ikut-ikutan gemas kemudian meminjam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah saya ubek-ubek, memang sama sekali tidak ada teori tata bahasa tentang pronomina atau kata ganti kepunyaan. Isinya memang lebih banyak teks bacaan dan soal-soal uraian. Dan tentunya dalam teks-teks yang lumayan panjang itu, sudah ada penerapan kata ganti kepunyaan, seperti "anaknya" atau "sepedaku". Sayangnya tidak ada penjelasan mengenai asal pembentukan kata tersebut. Pengurangan porsi untuk teori memang bermanfaat, tetapi menurut saya sudah berlebihan jika salah seorang murid saya yang kelas enam pun tidak tahu istilah "kalimat verba", "kalimat nomina", "kata benda konkret", atau "kata benda abstrak".